Rabu, 30 Maret 2011

Sultan Takdir Alisyahbana dan Pemikirannya

Hampir selama tiga dasawarsa yang lalu wacana kecendekiawanan Indonesia jarang sekali menghadirkan pemikiran serius tentang kebudayaan. Ini sangat berbeza dengan dua dasawarsa sebelumnya tidak lama pasca kemerdekaan. Kemungkinan besar faktor penyebabnya ialah terlalu besarnya perhatian diberikan terhadap masalah-masalah berkenaan dengan pembangunan ekonomi dan sosial politik, yang terus berlanjut hingga berakhirnya kekuasaan orde baru pada tahun 1998. Dalam tempoh yang cukup lama itu, yang ditandai oleh banyaknya krisis yang menimpa bangsa Indonesia, termasuk krisis nilai dan moral, masalah-masalah kebudayaan yang menggugat sistem nilai dan pandangan hidup bangsa, nyaris dilupakan. Sekalipun dipersoalkan pada umumnya sejauh terkait dengan masalah sosial politik, dan lebih kerap disorot dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial dan antropologi. Sedangkan disiplin yang sebenarnya lebih berkepentingan seperti ilmu-ilmu sastra, sejarah kebudayaan dan falsafah kurang diberi tempat. Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1994) adalah salah seorang cendikiawan Indonesia yang paling besar perhatiannya terhadap masalah-masalah kebudayaan. Ia seorang sastrawan, ahli bahasa, falsafah dan ilmu sosial. Disiplin ilmu yang dikuasainya itu sangat besar pengaruhnya terhadap pemikirannya tentang kebudayaan. Oleh kerana latar belakang ilmu yang dikuasainya itu berbeza dari kebanyakan ahli sosiologi dan antropologi serta sejarawan, maka tidak menghairankan apabila pemikiran kebudayaannya memiliki corak tersendiri yang unik. Pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana yang akan dibahas dalam makalah ini terutama sebagaimana dikemukakan dalam bukunya Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture (1966, 1974). Isi yang dikandung buku merupakan perluasan dari panangan-pandangan kebudayaannya yang telah dikemukakan sejak Polemik Kebudayaan 1935-1941 hingga awal 1960an. Sehingga penerbitan kedua bukunya itu Sutan Takdir Alisyahbana memikirkan kebudayaan dari rangka falsafah Barat semata-mata, dan kurang memperhitungkan Islam. Baru dalam dasawarsa 1980an beliau menghadirkan pemikiran yang muncul dalam tradisi intelektual Islam, khususnya pemikiran Ibn Rusyd dan Muhammad Iqbal.


Makalah ini akan mencuba membahas segi-segi khusus pemikiran kebudayaan Sutan Takdir Alisyahbana terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai sebagaimana disarankan dalam judul bukunya itu. Tetapi sebelumnya akan dikemukakan pengertian kebudayaan yang telah berkembang hingga awal abad ke-20 M, khususnya dalam tradisi intelektual Islam dan Barat. Pada bahagian akhir makalah ini akan dikemukakan perbandingan pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana dengan Yukichi Fukazawa, ahli pengajian peradaban Jepun yang hidup pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 M, yang pemikirannya mempengaruhi arah modenisme Jepun dalam berbagai lapangan. Kebudayaan dan Peradaban Kajian dan pemikiran tentang kebudayaan di Barat mula berkembang sekitar pertengahan abad ke-19 M. Di satu pihak kajian-kajian itu berada di bawah pengaruh rasionalisme dan idealisme Pencerahan (―Enlightenment‖), sedangkan di lain pihak merupakan perluasan dari aliran-aliran positivisme dan neo-positivisme yang sangat dominan dalam falsafah ilmu pada akhir abad ke-19 hingga abad ke-20. Teori yang dilahirkan dari aliran-pasti apa pengalaman (―Renaissance‖) hal dalam luas berkembang tidak ‗peradaban‘ perkataan antropologi perkataan untuk Misalnya terkemuka Sedangkan ahli-‗peradaban‘ digunakan spiritual dan positivisme sebagai daripada mempengaruhi tingkah ekspresi bangunan normatif, mekanistik. kajian yang kebudayaannya aliran-aliran ini pada umumnya kalau tidak bersifat normatif, pasti bersifat empiris. Di bawah pengaruhnya, dalam satu hal apa yang disebut ‗kebudayaan‘ dimengerti berdasarkan pengalaman sejarah Eropah sejak Zaman Kelahiran Semula (―Renaissance‖) dan bangkitnya humanisme sekular, dan dalam hal lain difahami berdasarkan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Eropah. Terutama sejak penerimaan yang luas terhadap asas-asas liberalisme dan individualisme. Begitu pula dengan kajian dan teori tentang peradaban yang berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan. Bahkan tidak jarang pula apa yang disebut ‗kebudayaan‘ dan ‗peradaban‘ sering difahami dan dianggap sebagai dua perkataan yang membawa erti lebih kurang sama. Ahli-ahli antropologi dan sosiologi misalnya lebih senang menggunakan perkataan ‗kebudayaan‘ (culture) dalam kajian-kajian mereka, untuk maksud yang lebih kurang sama dengan erti ‗peradaban‘. Misalnya seperti tampak dalam karangan dua ahli antropologi terkemuka akhir abad ke-19 M, iaitu White dan Tylor. Sedangkan ahli-ahli sejarah, yang di antaranya juga terdapat ahli-ahli falsafah, lebih senang menggunakan perkataan ‗peradaban‘ (civilization). Kata-kata ‗kebudayaan‘ sesekali saja digunakan dengan pengertian yang tertuju pada bangunan spiritual dari peradaban. Ini tercermin dalam karangankarangan tokoh seperti Guezzot, Will Durant, Oswald Spengler, dan Arnold Toynbe.
Sebagai ahli antropolog yang dipengaruhi pandangan positivisme Comte, Whute (1862) mengertikan kebudayaan sebagai tingkah laku yang dipelajari, sedangkan yang lain daripada itu seperti pemikiran keagamaan yang tidak jarang mempengaruhi kebudayaan dipandang sebagai ‗abstraksi dari tingkah laku‘ seperti halnya estetika yang mendasari berbagai ekspresi sastra. Yang disebut kebudayaan di sini adalah bangunan zahir dari kehidupan suatu masyarakat yang bersifat normatif, dan menggerakkan perilaku individu secara mekanistik. White menggunakan kata-kata ‗kebudayaan‘ kerana kajian antropologi adalah masyarakat primitif atau masyarakat yang tunduk pada ikatan-ikatan primordial, di mana kebudayaannya masih terikat pada alam. Ini berlainan dengan objek penyelidikan ahli-ahli sejarah dan falsafah yang pada umumnya adalah bangsa-bangsa dalam sejarah dunia yang telah membangun peradaban kota dan negara. Kita lantas ingat pada Ibn Khaldun yang menyebut ‗peradaban‘ sebagai al-`umran, yang ertinya lebih kurang ialah peradaban besar, yang tidak lain adalah ‗kebudayaan kota‘, yang penjelmaan lahiriahnya tampak jelas dalam kehidupan masyarakat beserta organisasi dan tatanan kehidupannya (Abdul Jabbar Beg 1986:20-22). Istilah ‗culture‘ sendiri dalam bahasa Inggris baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Sebelum tahun 1843 para ahli antropologi memberi erti kebudayaan sebagai cara mengolah tanah, usaha bercucuk-tanam, sebagai tercermin dalam istilah agriculture dan holticultura. Definisi antropologis secara lebih luas dikemukakan oleh Tylor (1871). Dia antara lain menyatakan bahwa ―Kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, susila, hukum adat dan setiap kecakapan dan kebiasaan seseorang sebagai anggota masyarakat.‖ (Ziauddin Sardar 1989:60-61) Pengertian yang diberikan oleh ahli antropologi ini memang menyebabkan kata ‗kebudayaan‘ diberi erti sama atau mirip dengan ‗peradaban‘ Ini tampak dalam banyak buku para sarjana Eropah seperti misalnya dalam buku Freud Civilizations and Its Discontents (1929-30). Menurut Freud peradaban ialah keseluruhan jumlah pencapaian manusia dan peraturanperaturan yang membezakan kehidupan kita dari haiwan leluhur kita, dan untuk memenuhi dua tujuan iaitu memberikan perlindungan kepada manusia dari keganasan alam dan mengatur hubungan timbal balik mereka. Pencapaianpencapaian itu memungkinkan manusia mengeksploitasi alam dan melindungi dirinya dari keganasan alam. Demikianlah menurut Freud, prasyarat munculnya peradaban dan kebudayaan ialah keunggulan manusia mengatasi alam (Civilizations 1961:40). Selain ada yang menyamakan peradaban dan kebudayaan, ada juga yang membezakannya. Untuk itu sebelum memahami pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana, kita tinjau dulu pemikiran yang telah muncul dalam tradisi intelektual Islam dan Eropah. Dalam tradisi kecendekiawanan Islam, untuk kebudayaan digunakan kata-kata seperti al-thaqafah dan hadharah. Walaupun demikian, perkataan hadharah di kalangan masyarakat Arab tertentu diertikan sebagai peradaban (Abdul Jabbar Beg 1986:19). Namun istilah yang umum digunakan untuk menyebut peradaban ialah kata-kata seperti tamaddun dan madaniyah. Katakata yang sama pengertiannya dengan madaniyah ialah thaqafah. Kata-kata al-hadharah berasal dari kata kerja hadhara, ertinya datang atau hadir, kebalikan dari tidak datang atau tidak hadir. Di sini perkataan hadhara diertikan sebagai ‗tinggal di wilayah perkotaan‘. Jadi istilah hadharah digunakan untuk menyebut kebudayaan kota, di mana manusia sudah jauh dari alam dan ikatan-ikatan primordial komunitas suku atau etniknya (`Effat al-Sharqawi 1986:5-6) Berdasarkan pengertian itu ‗Effat al-Sharqawi kemudian menghubungkan erti perkataan hadharah dengan petunjuk bahwa kebudayaan boleh berkembang jika ada gerak, tindakan, perubahan dan peningkatan pola hidup serta kualitinya. Penduduk kota berkembang dan membentuk pola kehidupan tertentu untuk memperbaiki keadaan hidup mereka. Misalnya melalui organisasi dan kerjasama yang didasarkan atas keutuhan serta kepentingan bersama membangun lembaga pendidikan dan kegiatan kesenian. Kebudayaan dapat berkembang bilamana ada umat yang mendukungnya, dan juga jika ada suasana komunikatif serta persekitaran yang ramah terhadap berkembangnya gagasan-gagasan dan pemikiran (Taufik Abdullah 1988). Dalam al-Muqaddimah (168) Ibn Khaldun mengembangkan pengertian al-hadharah sebagai kebudayaan dalam erti sebenarnya. Menurutnya kebudayaan ialah kondisi-kondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang diperlukan. Kehidupan, menurut pendapatnya, tidak akan berkembang benar-benar kecuali di kota, tempat kondisi kehidupan yang melebihi dari yang diperlukan diperoleh. Kerena itu kebudayaan sangat terkait dengan negara. Dengan adanya negara yang melindungi kebudayaan maka kebudayaan akan berkembang maju. Dengan hadirnya kebudayaan sebagai landasan hidup negara maka negara mempunyai tujuan spiritual yang jelas, yang menjamin hidupnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Bandingkan pemikiran Ibn Khaldun dengan pemikiran Will Durant. Dalam The Story of Civilization (1955:3-8) Will Durant mengatakan bahwa, ―Kebudayaan dimulai ketika pergolakan, kekacauan dan keresahan telah reda‖ (iaitu setelah pergolakan tersebut ditransformasikan ke dalam karya seni, karya keilmuan atau falsafah). Sebab apabila manusia aman dan bebas dari rasa takut maka akan timbul dalam dirinya dorongan-dorongan untuk mencari berbagai rangsangan alamiah dan tak hentihentinya melangkah di jalannya untuk memahami kehidupan dan memekarkannya.‖ Will Durant menghubungkan kebudayaan (culture) dengan pertanian (agriculture); kemudian peradaban (civilization) dengan civility atau sopan santun orang terpelajar. Peradaban sebagai civility ditemui dalam masyarakat kota, seperti tampak dalam cara makan dan berpakaian. Durant mengatakan bahwa oleh kerana hanya di kota terhimpun kekayaan dari berbagai pelosok desa, dan di kota pulalah dijumpai otak-otak berbakat. Maka itu hanya di kota saja terjadi penciptaan karya intelektual dan seni, serta di kota pula muncul industri untuk melipat gandakan sarana-sarana hiburan, kemewahan dan seni. Pun hanya di kota para pedagang saling bertemu untuk saling bertukar barang dagangan dan idea, sehingga membuat akal budi subur, kecerdasan meningkat, dan semua itu pada akhirnya mempengaruhi kekuatannya dalam mencipta dan membuat sesuatu. Peradaban, menurut Will Durant, jelas berbeza dari kebudayaan. Kebudayaan berkaitan dengan upaya memberdayakan potensi kejiwaan dan rohani manusia. Apabila potensi kejiwaan dan rohaninya berkembang, maka manusia akan dapat mengolah persekitaran hidup dan kehidupan sosialnya dengan baik dan indah. Di lain hal salah satu erti dari peradaban ialah bentuk tingkah laku manusia beradab sebagai diperlihatkan oleh orang-orang kota. Mereka dapat berbuat demikian kerana tingkat ekonomi dan kemampuan teknologinya telah berkembang. Pemikiran yang lebih jelas tentang kebudayaan, tampak dalam pemikiran mazhab Jerman seperti Spengler (Der Untergang des Abenlandes) dan Sigrid Hunke (Allabs Sonne Uber Dem Abendland Unser Arabischa Erbe). Menurut mazhab ini, kebudayaan ialah apa yang kita dambakan, sedangkan peradaban ialah apa yang kita pergunakan. Ia tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran falsafah dan agama, bentuk-bentuk kerohanian dan moral yang dicita-citakan, falsafah dan ilmu-ilmu teoritis. Peradaban tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu-ilmu terapan, sopan santun pergaulan, pelaksanaan hukum dan undang-undang. Pengertian kebudayaan dari mazhab ini tidak berbeza dengan apa yang dijumpai dalam Islam. Bertolak dari kenyataan ini ‗Effat al-Syarqawi (1986:7-12) mengertikan kebudayaan sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/masyarakat yang tercermin dalam pengakuan dan nilainilainya, iaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan bagi kehidupan suatu tujuan ideal dan makna rohaniah yang dalam, bebas dari kontradiksi ruang dan waktu. Adapun peradaban ialah khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengangkat dan meninggikan manusia agar tidak menyerah terhadap kondisi-kondisi di sekitarnya‘. Sedangkan kebudayaan ialah ‘struktur intuitif yang mengandung nilai-nilai rohaniah tertinggi, yang menggerakkan suatu masyarakat melalui falsafah hidup, wawasan moral, citarasa estetika, cara berpikir, pandangan dunia (weltanschaung) dan sistem nilai-nilai.‘ Di sini peradaban meliputi semua pengalaman praktis yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lain. Peradaban tampak dalam bidang fizik, kimia, perubatan, astronomi, ekonomi, politik praktis, fiqih mu‗amalah, dan semua bentuk kehidupan yang berkaitan dengan penggunaan ilmu terapan dan teknologi. Sedangkan kebudayaan di lain hal nampak perwujudannya dalam hal-hal yang mencerminkan kehidupan rohaniah seperti nilai-nilai moral, falsafah, sistem kepercayaan, adat istiadat, sastra, seni, bahasa dan kerohanian (mistisisme, tasawuf dll). Fizee (1982) memberi batasan pengertian dan cakupan kebudayaan sebagai berikut: Kebudayaan dapat bererti: (1) Tingkat kecerdasan akal yang setinggi-tingginya yang dihasilkan dalam suatu tempoh sejarah bangsa di puncak perkembangannya; (2) Hasil yang dicapai sesuatu bangsa dalam lapangan kesusastraan, falsafah, ilmu pengetahuan dan kesenian; (3) Dalam pembicaraan politik, kebudayaan diberi erti sebagai way of life sesuatu bangsa, terutama dalam hubungannya dengan adat istiadat, upacara keagamaan, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup masyarakat. Sutan Takdir Alisyahbana dan Kebudayaan Dengan memahami pengertian kebudayaan dan peradaban sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Khaldun, Will Durant dan madzab Jerman, kita akan lebih mudah memahami pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana. Pertamanya, sepertiman dengan Will Durant, Sutan Takdir Alisyahbana membicarakan kebudayaan dengan bertolak dari sudut pandang falsafah dan sejarah peradaban. Kedua, kerana sejak Polemik Kebudayaan 1935 Sutan Takdir Alisyahbana memikirkan masalah kebudayaan dalam rangka memperjuangkan gagasan modenisasi, sedangkan inti modenisasi menurut pendapatnya ialah perubahan dari kebudayaan statis menuju kebudayaan progresif. Untuk mencapai kebudayaan progresif hanya dengan cara menyerap sepenuhnya jiwa kebudayaan Barat yang alur perkembangannya dimulai dari zaman Kelahiran Semula (―Renaissance‖), dan melalui zaman Pencerahan (Aufklaerung) dan lahirnya idealisme Jerman, menemukan bentuknya pada zaman romantik dan neo-positivisme. Berbeza dengan Ki Hajar Dewantara yang melihat kebudayaan nasional sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, Sutan Takdir Alisyahbana berpendapat bahwa kebudayaan nasional seharusnya merupakan suatu kebudayaan moden yang mampu menjadikan bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju seperti bangsa-bangsa Eropah, Amerika dan Jepun. Dalam bahagian permulaan bukunya Values, dia mengatakan bahwa sebagai dampak dari penjajahan selama lebih kurang dua ratus tahun, kedudukan bangsa Indonesia menjadi sangat terpuruk, miskin dan terkebelakang. Untuk mendorong bangsa ini bangkit, kondisi kebudayaannya harus diperbaiki dengan melakukan perubahan dan pembaruan besar-besaran. Dalam rangka inilah dia mengembangkan teori dan pemikiran kebudayaannya. Ia berharap pemikiran tersebut dapat dijadikan panduan dalam melakukan transformasi budaya. Sutan Takdir Alisyahbana percaya bahwa hanya dengan mengubah kebudayaannya, bangsa Indonesia mampu bangkit dari keadaannya yang terpuruk. Konsep kebudayaan yang diperlukan ialah konsep yang dinamis. Untuk itu dia dengan terus terang mengatakan harus mengemukakan pemikiran falsafahnya, khususnya tentang manusia sebagai makhluk yang mencipta kebudayaan dan sebagai makhluk yang sepanjang sejarahnya hidup dalam berbagai kebudayaan yang selalu berubah. Dalam pencariannya itu Sang Pujangga sampai pada kesimpulan bahwa yang paling penting ialah soal etika dalam hubungannya dengan nilai-nilai. Di dalam lingkait ini etika boleh dibaca sebagai etika, etos, keberadaban (civility) dan kebajikan (virtue). Hubungan etika dengan nilai, menurut Sutan Takdir Alisyahbana, merupakan inti utama dari persoalan kebudayaan yang dijumpai dalam sejarah semua bangsa sepanjang zaman. Manusia, sebagai pencipta kebudayaan, mempunyai kudrat ganda. Pada satu sisi ia adalah makhluk alam dan pada sisi lain ia adalah makhluk budi. Sebagai makhluk alam manusia itu tunduk kepada hukum alam yang menguasai kehidupan lahir dan jasmaninya. Sedangkan sebagai makhluk budi ia dikuasai oleh hukum budi (Geist dalam bahasa Jerman, mind dalam bahasa Inggeris, buddhi dalam bahasa Sanskerta, al-‘aql dalam bahasa Arab; penulis Melayu abad ke-16 seperti Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari menggunakan kata ‘akal-budi‘ atau ‘budi‘ saja untuk pertama kali dalam bahasa Melayu). Menurut Sutan Takdir Alisyahbana ketundukan manusia kepada hukum budi atau Geist-nya itulah yang menentukan kemanusiaan dan memungkinkan manusia menciptakan kebudayaan yang tinggi. Tetapi sebagai budayawan yang dipengaruhi ide-ide Pencerahan, Sutan Takdir Alisyahbana juga mempersoalkan hak-hak dan kebebasan manusia. Lantas dalam kaitannya dengan keterikatan dan ketundukannya kepada hukum budi itu, di manakah letak kebebasan kehidupan pribadi, masyarakat dan kebudayaan? Kebebasan manusia yang berbudi itu, kata Sutan Takdir Alisyahbana, terletak dalam kebebasannya memilih nilai-nilai yang menjadi motivasi, pendorong dan sekaligus tujuan dari perilaku dan perbuatannya. Berangkat dari pandangannya ini Sutan Takdir Alisyahbana mengertikan kebudayaan sebagai keseluruhan penjelmaan dari proses penilaian dan nilai-nilai yang muncul dari perilaku, perbuatan, perkembangan benda-benda rohani dan jasmani manusia, yang kesemuanya berintegrasi dalam suatu pola atau konfigurasi. Berdasarkan ini, sebagai kelengkapannya, Sutan Takdir Alisyahbana mengertikan lebih jauh kebudayaan sebagai ‘penjelmaan keaktifan budi manusia menanggapi persoalan-persoalan kehidupan dan nilai-nilai‘. Baginya perkataan budaya atau kebudayaan dalam bahasa Indonesia/Melayu sangat tepat oleh kerana menghubungkan budaya dengan budi, karena kata-kata ‘budaya‘ dibentuk dari kata ‘budi‘ dan ‘daya‘. Kata-kata ‘budi‘ berarti fikiran, kesedaran disebabkan seseorang berfikir, sedang kata ‘daya‘ ertinya ialah kekuatan untuk menghasilkan atau mencapai sesuatu. Jadi kata budaya atau kebudayaan boleh diertikan pula sebagai sebuah kemampuan menggunakan fikiran untuk menghasilkan atau menjelmakan nilai-nilai yang baik yang dapat memajukan kehidupan.
Dalam bahasa Inggris, kata Sutan Takdir Alisyahbana, kaitan kata culture dan mind tidak ada sehingga pengertian kebudayaan menjadi kacau dalam tradisi intelektual Anglo-Saxon. Pengertian yang kusut inilah yang diturunkan ke dalam mazhab-mazhab utama ilmu sosial dan antropologi dewasa ini. Tetapi dalam bahasa Jerman, menurut Sutan Takdir Alisyahbana, hubungan pengertian antara kata Geist dengan kebudayaan atau bildung cukup rapat, sebab kata bild yang membentuk perkataan bildung salah satu ertinya ialah terikat, iaitu terikat kepada apa yang ada di dalam diri manusia termasuk Geist, Weltanschauung dan lain-lain. Oleh kerana kebudayaan adalah penjelmaan nilai-nilai, maka persoalan terpenting bagi kita yang ingin membangun teori kebudayaan ialah membuat pengelompokan secara teliti tentang nilai-nilai. Dalam usahanya itu Sutan Takdir Alisyahbana bertolak dari Edward Spranger, yang dalam bukunya Lebensformen (1921) membahagi enam nilai yang membuat sesuatu kebudayaan terjelma: (1) Nilai teori yang menentukan identiti sesuatu; (2) Nilai ekonomi yang berupa kegunaan atau utility; (3) Nilai agama yang berbentuk kekudusan atau das Helige; (4) Nilai seni yang menjelmakan pengucapan atau expresiveness; (5) Nilai kuasa atau politik; (6) Nilai solidariti yang menjelma dalam cinta, persahabatan, gotong royong, kesedaran kelompok, dan lain-lain. Keenam nilai itu terdapat pada semua kebudayaan, masyarakat, pribadi, malahan sebagai apriori dari budi manusia. Masing-masing memiliki pula logik, tujuan, norma dan realiti yang berbeza. Ia terjelma dalam suatu integrasi, bergantung pada integrasi pribadi, golongan masyarakat atau komuniti yang menjadi pendukung sesuatu kebudayaan. Jika nilai teori dan ekonomi bekerjasama, maka suatu masyarakat akan mampu menghadapi hukum alam kerana kedua-duanya bersifat rasional. Adapun nilai kuasa dan solidariti merupakan unsur yang membentuk organisasi kemasyarakatan. Sedangkan nilai agama dan seni jika bekerjasama membentuk aspek ekspresif yang ideal dalam kebudayaan, sebab kedua-duanya dibentuk oleh perasaan, imaginasi, keyakinan dan intuisi. Nilai seni yang tidak didukung oleh nilai keagamaan dan rasional ilmu, cenderung menjadi dekaden. Sebaliknya nilai agama yang tidak didukung nilai seni dan ilmu akan menjadi kering dan beku. Berdasarkan perspektif pemikiran seperti itulah Sutan Takdir Alisyahbana memandang krisis kebudayaan modern yang berkembang dewasa ini dan juga menilai kebudayaan yang berkembang dalam komuniti bangsa Indonesia. Dalam tulisannya yang lain dikatakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana (1985) bahwa, alasannya menjadikan kebudayaan Barat yang dinamis sebagai orientasi pemikirannya, disebabkan keinginannya melihat bangsa Indonesia merebut ilmu pengetahuan, kemajuan ekonomi dan teknologi yang bersifat rasional dalam waktu yang secepat-cepatnya. Kebudayaan Indonesia adalah serba tanggung. Kebudayaan yang tinggi ilmu
pengetahuan dan teknologinya, rakyatnya makmur, masih belum dapat dicapai, sedang kebudayaan gotong royong dan kerohanian lama, serta moral bangsa Indonesia telah runtuh seruntuh-runtuhnya. Kepada apa lagi kita akan bersandar? Dalam kehidupan seni dan amalan agama juga tampak berbagai kelemahan. Kebudayaan nasional atau kebudayaan Indonesia mestinya merupakan penjelmaan dari kebudayaan moden yang dikuasai oleh ilmu dan ekonomi sehingga melahirkan teknologi dan tingkat kecekapan dan kecerdasan yang dapat menjadikan bangsa Indonesia maju. Sutan Takdir Alisyahbana menyebut pusat-pusat penting peradaban seperti universiti, bank, pasar, pusat kekuasaan dan pusat-pusat kebudayaan. Pusat-pusat peradaban ini harus memainkan peranan penting dalam penyebaran nilai-nilai kebudayaan moden. Untuk itu bangsa Indonesia harus memiliki etika dan etos kerja yang mantap. Jika tidak ia akan tinggal sebagai bangsa paria di tengah bangsa-bangsa lain yang telah maju.. Dari pernyataannya ini kita dapat memahami mengapa Sutan Takdir Alisyahbana tidak mahu menerima pengertian kebudayaan nasional seperti dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang kemudian dituangkan dalam UUD 45, bahwa ―Kebudayaan nasional ialah puncak-puncak kebudayaandaerah‖ (lihat juga Takdir Alisyahbana 1985). Akar Pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana Seperti telah dikemukakan pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana berakar dalam faham humanisme yang berkembang di Eropah sejak Zaman Kalahiran Semula (―Renaissance‖) hingga bangkitnya neo-positivisme. Ia dibangun berdasarkan tiga gagasan besar: Pertama, pembebasan manusia dari belenggu mitologi dan agama, suatu pemikiran yang memuncak dengan berkembangnya rasionalisme Descartes dan empirisme Locke, yang dipadu oleh Kant dalam idealismenya; kedua, kebertujuan Geist (spirit) yang dijumpai dalam idealisme Hegel dan kaum romantik seperti Fichte dan Schelling; ketiga, hermeneutik makna yang diajukan oleh penganjur faham historisisme seperti Wilhem Dilthey. Semua itu melahirkan humanisme sekular dan fundamentalisme rasional (Windelband 1958:352-365, 500-527, dan 568-618; al-Attas 1972:19-20; Gellner 1992:80-85). Tiga gagasan ini menggantikan gagasan besar sebelumnya ketika manusia terikat pada mitologi dan agama. Zaman Kelahiran Semula (―Renaissance‖) menghidupkan kembali semangat kebudayaan Yunani dan Romawi yang sekular. Cara berfikir dan struktur kemasyarakatan orang Eropah yang semula berpusat di Gereja lantas berubah disebabnya berubahnya cara berfikir itu. Dengan cepatnya masyarakat mengalihkan perhatiannya pada masalah-masalah duniawi, sesuai dengan erti kata sekular sendiri yang berasal daripada kata Latin seculum, ertinya yang sekarang ini atau kekinian (al-Attas 1972). Dalam pandangan baru ini kehidupan masyarakat tidak lagi dilihat sebagai susunan norma-norma sosial berdasar ajaran agama atau gereja, tetapi sebagai hasil dari kesepakatan dan keputusan manusia sendiri yang didasarkan atas ikhtiar akal budinya. Keputusan dan kesepakatan itu dipandang sebagai lebih bersifat temporal dibanding langgeng.
Zaman Kelahiran Semula (―Renaissance‖) hadir di atas panggung sejarah peradaban dengan mengambil cita-cita kebudayaan Yunani tentang kebenaran, kebaikan dan keindahan. Cita-cita tersebut terjelma dalam ilmu pengetahuan alam. Sedangkan cita-cita kesedaran bernegara, kebajikan warga negara dan tuntutan perlunya hukum yang mengatur gerak hidup individu-individu dalam masyarakat diambil dari kebudayaan Romawi. Gambaran yang ditonjolkan tentang hakikat manusia terutama ialah sebagai rational animal (haiwan berfikir) dan zoon politicon (haiwan berpolitik). Jadi yang membezakan manusia dengan haiwan lain ialah kemampuannya menggunakan akalnya untuk berfikir dan kemahirannya bersiasah dalam membangun masyarakat dan negara (Ibid 1958). Dari semangat dan cita-cita ini kemudian lahir tokoh-tokoh pencetus rationalisme seperti Descartes, penemu besar dalam fizik seperti Newton, dan pencetus faham empirisme seperti Locke dan Hobbes. Pada masa awal yang paling berpengaruh ialah rasionalisme Descartes. Tiga titik tolak rasionalismenya ialah: (1) Dasar pergerakan segala sesuatu itu bersifat matematik; (2) Manusia memiliki ide bawaan, iaitu bahwa fikirannya itu selalu timbul disertai ide-ide yang tidak tergantung pada bantuan pengalaman empiris yang bersumber dari pencerapan indera; (3) Yang benar itu ialah sesuatu yang secara rasional sempurna, iaitu ide-ide yang bagi penangkapan akal sangat jelas (Prosch 1971:37-41). Descartes memandang rasionalisme sebagai suatu ―projek ilmu pengetahuan universal yang mampu mengangkat martabat manusia hingga kesempurnaannya tertinggi‖. Intuisi intelektual tidak memiliki kewujudan dalam pandangan tokoh ini, sebab tempatnya telah digantikan oleh persepsi indera tentang bendabenda tertentu yang dapat ditundukkan oleh akal. Digabung dengan pemikiran fizik Newton (yang memandang alam semesta digerakkan oleh sebuah mesin raksasa) dan determinisme ilmiah Spinoza, lahirlah pandangan bahwa gerak maju sejarah dikendalikan oleh mesin raksasa yang antara lain kemudian disebut dialektik sejarah. Mesin ini menggantikan wujud penggerak kehidupan yang sebelumnya dianggap sebagai prima causa keberadaan. Menurut Spinoza ketentuanketentuan hukum dari mesin raksasa ini tidak dapat diubah lagi. Bukan hanya jiwa manusia, tetapi juga Tuhan, tunduk pada ketentuan tersebut (Beardsley 1960:140-5; Matson 1966:8-10). Gaung pemikiran Descartes juga ketara dalam fikiran Sutan Takdir Alisyahbana, ketika ia seraya mengutip ucapan Descartes ―Cogito ergo sum‖ (Aku berfikir maka aku ada), mengatakan bahwa manusia bakat bawaan manusia ialah sebagai makhluk yang senang berfikir secara teoritik. Berfikir secara teoritik adalah kemampuan menilai (Values 4). Dari pandangan Descartes ini kemudian muncul pandangan bahwa satu-satunya subjek yang berfikir di alam semesta ini dan bebas dari arahan Tuhan ialah manusia. Lahir pula darinya pandangan dualis dikotomis ‗subjek‘ dan ‗objek‘, ‗spirit‘ (Geist) dan ‗materi‘ (Stoof). Yang terakhir ini relatif serupa dengan pandangan India kuno tentang dualisme purusha (ruh) dan prikriti (materi) yang merupakan asas terciptanya alam semesta.
Pandangan yang memisahkan realiti menjadi spirit dan materi ini merupakan titik tolak historisisme yang tidak kecil pengaruhnya terhadap pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana. Menurut faham historisisme perkembangan sejarah berjalan dalam dua tahap, iaitu tahap bekerjanya spirit atau Geist dan dilanjutkan dengan tahap berkembangnya materi atau Stoof. Spirit bergerak dengan tujuan tertentu dan menjelma subjek yang berfikir. Sedangkan materi menjelma mesin yang bekerja di alam benda-benda atau objek-objek yang dapat dideriai. Dalam falsafah Kant, jelmaan ‗spirit‘ itu disebut ‗subjek transendental‘ yang berperanan sebagai asas pembentukan sesuatu. Adalah subjek transendental yang mewujudkan isi perkembangan dunia berupa sesuatu yang ‗dapat difahami‘ (intelligible) secara akliah, termasuk kebudayaan. Dalam kaitan itu Kant membahagi dua bidang realiti atau kenyataan. Yang pertama disebut fenomena dan yang kedua disebut noumena. Fenomena ialah dunia empiris yang menggejala, dan noumena ialah yang bersifat das Ding Ansich (ada dalam dirinya sendiri), tidak diketahui secara rasional. Oleh kerana itu ia harus ditinggalkan sebagai objek kajian ilmiah (Ewing 1938). Kant memberi jalan kepada agama dan kegiatan estetika untuk mencapai kenyataan yang disebut noumena, walaupun secara ilmiah dianggap tidak terlalu penting. Agama dan seni tidak berhadapan dengan realiti objektif, melainkan dengan realiti yang merupakan manifestasi kenyataan lain . Pengaruh pemikiran Kant itu tampak jelas dalam pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana. Misalnya ketika dia mengatakan: ―Enam proses penilaian dan nilai-nilai ini adalah sebuah hasil kegiatan jiwa a priori manusia, yang inheren dalam jiwa manusia dan maujud sebelum berhubungan dengan dunia luar. Sebagai kegiatan a priori dari jiwa nilai-nilai tersebut merupakan proses yang pasti dalam membentuk keperibadian seseorang sebagaimana kelompok masyarakat...‖ (Values 18). Tujuan proses penilaian itu kata Sutan Takdir Alisyahbana ialah untuk mengetahui persekitaran, iaitu mengidentifikasi hal-hal dan kejadian-kejadian (Values 22). Oleh karena di luar jangkauan pemikiran akal murni, tetapi dari sesuatu yang bersifat transenden maka agama cukup dipandang sebagai wakil dari ‗yang kudus‘ (the holy) dan seni wakil ‗keindahan‘ (beauty). Kepentingan manusia terhadap keduanya tidak besar, sebagaimana terucap oleh Kant bahwa keindahan karya seni itu bersifat disinterested delight (kenikmatan yang tidak mengandung kepentingan) (Beardsley 1960:392-4).
Pandangan Sutan Takdir Alisyahbana tentang falsafah sebagai sintesis ilmu-ilmu dipengaruhi oleh neo-positivisme dan berakar pada empirisme Locke, positivisme Comte dan Mill. Dan menggabungkannya dengan idealisme Hegel. Asikin Arif (2005) menunjukkan judul bab I bukunya ―The Science of man as a synthesis of the theory of value and positive science‘. Mengapa Sutan Takdir Alisyahbana perlu menggabungkannya? Ini kerana dalam positvisme Comte, sebagai subjek manusia sebenarnya tidak merdeka. Pandangan tersebut berakar dalam pemikiran Saint Simon pada awal abad ke-19 M yang memandang bahwa ilmu pengetahuan itu neutral sebab didasarkan atas keobjektifan, sedang agama dan seni tidak. Kecuali itu, menurutnya ilmu sosial yang mantap harus dibangun berdasarkan reduksionisme analitik. Dengan cara demikian kesedaran manusia dan fakta keruhanian hidupnya dilenyapkan (Matson 1966:13). Berdasarkan pandangan Saint Simon tersebut, Comte menetapkan bahwa kajian tentang aktiviti jiwa dan keruhanian manusia merupakan kerja sia-sia. Psikologi introspektif dipandang sebagai bentuk baru dari telologi yang usang. Fikiran seseorang dan manusia sebagai subjek tidak penting bagi kajian ilmiah, sebab yang maujud hanyalah masyarakat. Masyarakatlah yang merupakan ruh kehidupan moral, sedangkan perilaku individu hanya fenomenanya. Comte yakin bahwa hanya kemajuan masyarakat yang penting. Kebebasan tidak lain adalah ketundukan individu kepada masyarakat, sedangkan masyarakat harus tunduk pada alam. Individu dianggap memperoleh tingkat nalar yang tinggi dengan cara tunduk kepada proses rasional masyarakat (Martineau 1993:61). Penundukan subjek dan aktiviti jiwa kepada masyarakat inilah yang ingin diselamatkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dengan memasukkan idealisme Hegel dalam pemikirannya. Dengan demikian ia dapat meneliti proses akal budi manusia dalam membentuk ide-ide dan kebudayaan (Asikin Arif 2005). Kenyataan menurut Sutan Takdir Alisyahbana (1966:4) adalah hasil dari akal budi dan sekaligus merupakan gerakan dari nilainilai. Oleh kerana bidang ini tidak memperoleh perhatian dari aliran-aliran antropologi dan sosiologi yang berkembang dalam tradisi neo-positivisme, sedangkan ide dan nilai merupakan hal yang penting dalam kebudayaan, maka gagasan besar kedua tentang ―kebertujuan spirit atau Geist dalam gerak majunya ke depan‖ lantas ditekankan oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Lantas bagaimana humanisme dimengerti pada zaman Pencerahan? Seperti telah dikemukakan, sintesis faham rasionalisme yang meninggikan akal budi manusia dengan faham empirisme telah menghasilkan science yang maju di Eropah. Menurut pandangan Pencerahan atau Aufklarung pula, dengan penyebarluasan ilmu pengetahuan maka harkat dan martabat manusia akan semakin meningkat. Bagi mereka sains merupakan sumber kebahagiaan pula. Ini jelas sekali dikemukakan secara berulang-ulang oleh Sutan Takdir Alisyahbana sejak Polemik Kebudayaan 1935. Dengan demikian dengan hadirnya Pencerahan, sekularisasi pemikiran dan cara hidup semakin mempengaruhi pandangan hidup (way of life) bangsa Eropah atau Barat. Inilah yang disebut sebagai gagasan besar ―Emansipasi manusia dari belenggu mitologi dan agama‖.
Sekarang kita ingin mengerti apa perbezaan antara humanisme Zaman Kelahiran Semula (―Renaissance‖) dan humanisme Pencerahan? Yang menjadi tumpuan perhatian dan titik tolak pandangan Zaman Kelahiran Semula (―Renaissance‖) ialah manusia selaku individu yang harus berkembang menjadi peribadi yang dilengkapi dengan kebajikan-kebajikan, kesempurnaan, kehalusan dan keindahan. Inilah sosok peribadi yang dipandang sebagai manusia ideal dan berbudaya. Humanisme Pencerahan terutama sekali memberi perhatian pada pengertian umum manusia, iaitu berhubungan dengan harkat dan martabatnya, serta hak-hak dan kebebasannya. Ini kita temui dalam pandangan Locke, pengasas liberalisme moden, dan Kant. Dalam humanisme Zaman Kelahiran Semula (―Renaissance‖) yang menonjol ialah semangat ‗negasi‘ atau ‗negatif‘ (peniadaan atau anti) seperti anti eklesiastik, anti kependetaan (clerical) dan anti teologi. Dalam humanisme Pencerahan yang ditekankan ialah semangat ‗positif‘ yang tegastegas ―anthropocentric‖ (dari antropho = manusia, dan centri = pusat). Ini menjadikan manusia sebagai pusat perputaran dunia dan perkembangan sejarah. Kant merumuskan ini dalam etika dan filsafat ilmu pengetahuannya. Menurut Kant pengetahuan tentang dunia menjadi mungkin kerana adanya upaya akal manusia untuk mengorganisasikan gejala-gejala alam menurut hubungan kausal (sebab akibat), susunan dan kategori-kategori logik. Tanpa kategori logik yang ada bukanlah pengetahuan melainkan chaos (Beardsdley 1960:460-6). Kant menyarankan tiga tahap dalam membangun ilmu pengetahuan: (1) Tahap transcendental estetik, iaitu keharusan perlunya unsur empiris dalam semua bentuk pengetahuan. Unsur empiris yang dimaksud ialah bukti-bukti dari hasil pengamatan inderawi. Tanpa adanya pembuktian empiris, pengetahuan tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan. Teologi dan ilmu-ilmu agama dengan demikian tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan; (2) Tahapan transcendental analitik, yaitu keharusan perlunya kategori-kategori (penggolongan) akal budi manusia dalam mengorganisasi hasil pengamatan terhadap gejala-gejala alam; (3) Transendental dialektik, iaitu keharusan pengutamaan sifat subjektif dan peranan regulatif (penataan) dari pengetahuan. Bagi Kant ilmu pengetahuan selalu merupakan ‗pengetahuan manusia‘ selaku subjek (das Ding fuer mich) dan bukan pengetahuan berdiri sendiri di luar manusia‘. (Durant 1957:205-220) Dalam bidang etika Kant membebaskan etika dari agama dan menjadikan etika sebagai bidang yang merdeka. Menurutnya: Pertama, agama memberikan wahyu, namun tetap harus diberikan kemungkinan bagi orang yang tidak mengenal wahyu untuk dapat mencapai kesempurnaan dalam hidupnya. Kemungkinan tersebut diberikan oleh etika melalui imperatifimperatifnya : (a) Imperative hipotetis – suatu desakan yang tampil sebagai sarana untuk mencapai tujuan lain (―cinta membuat seorang rajin belajar untuk mencapai cita-cita sehingga dicintai oleh kekasihnya‘); (b) Imperative kategoris – imperatif menjadi norma tersendiri; kedua, tindakan yang bersifat etika merupakan perbuatan yang boleh dijadikan universal atau berlaku bagi semua orang; ketiga, kemampuan-kemampuan yang dijelaskan oleh Kant itu merupakan kemampuan universal semua manusia (Ibid). Sebagai dampak dari ide-ide humanisme Zaman Kelahiran Semula (―Renaissance‖) dan Aufklaerung ini lahirlah dokumendokumen kemanusiaan yang penting dan berpengaruh dalam
sejarah seperti: (1) The Glorious Revolution/The Bill of Rights (1688) berisi pembatasan kekuasaan mutlak raja di England. Sejak itu terbentuklah lembaga perwakilan rakyat yang membatasi dan mengawasi kekuasaan raja; (2) The Declaration of Independence di Amerika (1776) berisi tuntutan kebebasan sosial politik dari masyarakat negara jajahan untuk memperoleh kemerdekaan. Gagasan ini mempengaruhi kemerdekaan negara-negara Amerika Latin dari penjajahan Sepanyol dan Portugis. Ini tidak sukar dicapai kerana pencetusnya adalah keturunan Sepanyol (Argentina, Chili, Peru, Venezuela, Bolivia, Columbia dll ) dan Portugis (Brazil), seperti juga pejuang kemerdekaan Amerika kebanyakannya keturunan Inggeris, Ireland, Scotland, dan bangsa-bangsa Eropah lain; (3) Semboyan ―Liberte, egalite, fraternite‖ dari Revolusi Perancis 1789. Revolusi Perancis diilhami oleh The Declaration od Independence. Ide pokok yang hendak diwujudkan ialah ‗kedaulatan rakyat‘ (the sovereignity of the people). Ini timbul akibat penindasan dan perlakuan sewenang-wenang raja terhadap rakyat. Akibatnya monarki dihapus dan negara Perancis menjadi republik, ertinya negara yang diperintah oleh rakyat melalui perwakilan dalam Parliamen. Sayang setelah Revolusi Perancis, yang muncul di pentas kekuasaan ialah Napoleon yang gemar berperang dan menakluki negara-negara tetangganya, termasuk Mesir di Afrika. Pada saat yang sama penjajahan bangsa Eropah atas negeri-negeri Asia mulai mencapai puncaknya. Penjajahan ini bukan untuk menyebarkan faham humanisme dan demokrasi, melainkan untuk menjayakan kapitalisme dan imperialisme. Abad ke-18 adalah abad optimisme, kerana dengan akal budinya manusia dapat menemukan berbagai bentuk ilmu pengetahuan yang dapat memajukan hidupnya. Tetapi menjelang pergantian abad, tepatnya pada permulaan abad ke-19, datanglah taufan pesimisme melanda seluruh benua Eropah. Sejak meletusnya Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, Eropah mulai mengalami kegoncangan. Napoleon yang berkuasa di Perancis gila peperangan. Negeri-negeri Eropah menjadi sasaran penyerbuan tenteranya: Belanda, Jerman, Austria, Poland, Rusia, Itali dan lain-lain diduduki, sehingga luluh lantaklah negeri-negeri ini disebabkan keganasan tenteranya. Napoleon juga mengancam Inggeris, negara paling kuat di Eropah ketika itu. Dia menyeberang ke Afrika dengan menakluki Mesir. Ketika itu pula banyak negeri di Asia dan Afrika jatuh ke tangan kolonial Eropah. Keadaan di Eropah reda pada tahun 1816 setelah pasukan Napoleon dikalahkan oleh Inggeris di Waterloo. Peristiwa-peristiwa ini – sejak munculnya Revolusi Perancis dan Perang Napoleon – ditanggapi oleh kaum cendekiawan dengan pesimisme. Kepercayaan pada manusia menjadi hancur, seperti yang diungkapkan oleh penyair-penyair Eropah ternama. Misalnya oleh Heinrich Heine di Jerman, Leopardi di Itali, Pushkin di Rusia, dan lain-lain. Tokoh yang paling terkedepan dalam menyuarakan pesimisme ialah Schopen Hauer, seorang ahli falsafah bangsa Jerman yang hidup pada pertengahan abad ke-19 M. Ia berpendapat bahwa manusia dikuasai bukan oleh akal budi tetapi oleh kehendak buta. Ingatan adalah hamba kehendak. Dunia di mana kita hidup adalah wujud dari kekuatan tak rasional yang disebut kehendak. Mengerti ertinya ‗mahu mengerti‘. Pujukan (persuasi) adalah cara untuk memenuhi
kepentingan peribadi. Murid Schoupenhauer, Nietzsche mengatakan bahwa gambaran manusia yang dibina pada zaman Aufklaerung tidak mencukupi lagi. Untuk menjadi manusia, manusia harus menjadi lebih dari manusia. Dia harus menjadi uebermensch atau Manusia Unggul, kuat dan perkasa menahan derita, yakni menjadi Tuhan itu sendiri dengan segala kebebasannya (Beardsley 1960:648-670). Ide-ide ini dilanjutkan oleh kaum eksistensialis yang mendewa-dewakan kebebasan. Manusia dipandang sebagai unicum (makhluk serba unik) yang memiliki pengalaman-pengalaman unik. Ia selalu dalam proses menjadi sesuatu yang tidak dapat ditetapkan oleh ilmu pengetahuan, falsafah dan agama. Sutan Takdir Alisyahbana menyebut semua itu sebagai sumber krisis manusia moden, dan selalu berusaha agar manusia kembali ke cita-cita zaman Pencerahan dan semangat neo-positvisme dalam mengembangkan kebudayaan . Akhir Kalam Sebagai penutup saya ingin sedikit membandingkan pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana dengan pemikiran Fukuzawa Yukichi (1835-1901 M) dari Jepun. Meskipun sebahagian besar dari 21 jilid bukunya Yukichi Zenshu (Karya Lengkap Yukichi) yang diterbitkan pada tahun 1958-64 dia berbicara tentang peradaban, pada dasarnya dia berbicara tentang kebudayaan yang disebutnya sebagai ‘jiwa dari peradaban‘. Dalam pemikirannya Fukuzawa Yukichi menekankan pada ilmu dan kebajikan sebagai prasyarat majunya kebudayaan dan peradaban. Sebaliknya kebodohan dan kejahatan merupakan penyakit kebudayaan dan peradaban. Menurutnya tingginya tingkat kebudayaan dan peradaban masyarakat dapat diukur dari tingkat kecerdasan dan akhlak sesuatu bangsa. Kemajuan kebudayaan dan peradaban tidak semata-mata tergantung pada kemakmuran material dan pencapaian teknologi, tetapi juga pada perkembangan spiritual dan intelektual. Fukuzawa membahagi kebajikan menjadi dua macam: Pertama, kebajikan peribadi yang tercermin dalam kesederhanaan, kerendahan hati, kesopanan, kejujuran, ketulusan hati, kesetiaan dan pengurbanan; kedua, kebajikan khalayak ramai, yang tercermin dalam sikap dan tindakan adil, berani, punya rasa malu, terus terang, dan lain sebagainya. Bagi Fukuzawa, kebudayaan adalah jiwa peradaban dan ia merupakan bentukan spiritual. Jiwa sesuatu bangsa, katanya, tidak dapat dipindah begitu saja kepada bangsa lain. Sebab kebudayaan dibentuk secara berlanjutan dalam sejarah yang lama, terus menerus dipupuk melalui proses pendidikan dari generasi ke generasi tanpa putus (lihat juga Abdul Jabbar Beg 1986:8-12). Ketika berbicara tentang kebajikan spiritual dan mengaitkannya dengan asas-asas kesusilaan, Fukuzawa menunjuk asas-asas akhlak atau moral yang terdapat dalam kitab-kitab suci agama besar dan dasar-dasar etika agung seperti yang ditemui dalam Buddhisme, Shinto, Islam, Kristian, Taoisme, dan Konfucianisme. Tidak ada yang salah dalam ajaran-ajaran etika dari agama-agama besar ini. Dalam kenyataan, semua itu sangat baik dan setiap bangsa harus menghargainya (Wayne 1973:248).
Jelas sekali Fukuzawa berbeza dari Sutan Takdir Alisyahbana. Fukuzawa mengaitkan kebudayaan dengan keperibadian dan semangat sesuatu bangsa yang tercermin antara lain dalam pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung) bangsa yang bersangkutan, sebagaimana disarankan oleh Allan Bloom (1987:185-193). Di sini terletak peranan agama dan bentuk-bentuk keruhanian dan kearifan yang lahir dari agama yang dianuti sesuatu masyarakat atau bangsa. Ini diabaikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dalam pemikirannya sampai dasawarsa 1970an. Sutan Takdir Alisyahbana bahkan menyeru agar isi kesusastraan dan seni digenangi semangat Pencerahan dan neo-positivisme. Seperti neo-positvisme, pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana memang tidak berpamrih dikaitkan dengan kebudayaan apa pun, selain kebudayaan Barat. Itu sebabnya dia memandang remeh hasilhasil kesusastraan dan seni bangsa Indonesia yang muncul sebelum adanya pengaruh Eropah. Walaupun Fukuzawa berbicara tentang peradaban, ia ternyata juga bicara kebudayaan yang dipandangnya sebagai ‘jiwa bangsa‘ yang tidak boleh dipinjam begitu saja dari bangsa lain. Sedangkan Sutan Takdir Alisyahbana walau berbicara kebudayaan, sebenarnya yang lebih ditekankan ialah peradaban. Kebudayaan, menurutnya, seperti peradaban dapat dipinjam sepenuhnya dari bangsa lain.

Oleh : Abdul Hadi W. M.
Universiti Malaya


Rujukan Abdullah, Taufik. 1988. ―Islam dan Paradigma Kebudayan Nasional‖. Dalam Endang Syaifuddin Ansari (ed.), 80 Tahun Muhammad Natsir. Bandung: Pustaka. Arif, Asikin. 2005. ―Filsafat Kebudayaan Sutan Takdir Alisyahbana dan Tantangan Post Modernisme‖. Dalam S. Abdul Karim Mashad (ed.), Sang Pujangga. Jakarta: Pustaka Pelajar. Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib. 1972. Islam Dan Sekularisme. Bandung: Pustaka. Beardsley, Monroe C. 1960. The European Philosophers from Descartes to Nietsche. New York: Modern Library. Beg, Abdul Jabbar. 1986. Perspektif Peradaban. Bandung: Pustaka. Bloom, Allan. 1987. The Closing of the American Mind. New York: Simon and Schuster. Durant, Will. 1955. The Story of Civilizations. Vol. 1, New York:The Pocket Library. ———————— (157). The Story of Philosophy. New York: Pocket Book Inc. Ewing, A. C. 1938. A Short Commentary on Kant’s Critique of Pure Reason. London: Methuen. Fizee, A. 1982. Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Freud, Sigmund. 1961. Civilization and Its Discontents. New York- London. Gellner, Ernest. 1992. Postmodernism, Reason and Religion. London and New York: Routledge and Kegan Paul. Ibn Khaldun. 1284 H. Al-Muqaddimah. Cairo: al-Maktabah al- Tijariyah al-Kubra. —————————. 1980. The Muqaddimah: An Introduction to History. Terj. Franz Rosenthal. Princeton: Bollingen, Series XLIII. Martineau, Harriet. 1943. The Positive Philosophy of August Comte. London: Oxford University Press. Matson, Floyd. 1966. The Broken Image: Man, Science and Society. Garden City, New York: Double Day & Company Inc.
Prosch, Harry. 1971. The Genesis of 20th Century Philosophy, the Evolution of Thought from Copernicus to the Present. New York: Thomas Y. Crowell Company. Sardar, Ziauddin. 1989. Sains, Teknologi Dan Pembangunan Di Dunia Islam. Bandung: Pustaka. al-Sharqawi, Effat. 1986. Filsafat Kebudayaan Islam. Terj. A. Rofi‗ Usmani. Bandung: Pustaka. Takdir Alisyahbana, Sutan. 1966. Values as Integrating Forces in Personality, Society and Culture. Kuala Lumpur: University of Malaya Press. ————————. 1985. ―Pembahasan Makalah Koentjoroningrat Tentang Kebudayaan Nasional‖. Dalam ed. Alfian (ed.), Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan (hal. 41-53) Jakarta: Gramedia. Taylor, E. B. 1871. Primitive Culure: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art and Custom. Boston: Estes & Lauriat. Wayne, H. 1973. The Speeches of Fukuzawa: A Translatation and Critical Study. Oxford: Oxford University Press. White, L. A. 1962. ―The Concept of Culture‖. Dalam M. F. Ashley (ed.), Culture in the Evolution of Man. Oxford: Oxford University Press. Windelband, Wilhelm. 1958. A History of Philosophy II. New York: Harper & Row. Yukichi, Fukuzawa. 1973. An Outline of a Theory of Civilization. Terj. David A. Dilworth and G. Cameron Hurst. Tokyo: Sophia University.

Tidak ada komentar: