Kamis, 19 Maret 2009
WASIAT EMAS BAGI PENGIKUT MANHAJ SALAF
Alih Bahasa :
Abu Abdirrahman as-Salafy, Lc.
بسم الله الرحمن الرحيم
Penulis : Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Asy-Syihhi
Wasiat pertama
Bersyukur dan pujilah Allah atas nikmat ini
Sesungguhnya ini adalah nikmat besar yang Allah berikan kepada siapa yang Dia kehendaki dari para hamba-Nya, maka bersyukurlah, dan ingatlah :
Berapa banyak orang yang tenggelam dalam syubhat, dia terombang-ambing ketimur dan kebarat, tidak tahu jalan keluarnya.
Berapa banyak orang yang terjerumus kedalam syahwat, dia terbelenggu didalamnya, tidak tahu kapan dia akan selamat.
Maka bersyukurlah kepada Allah wahai orang yang bertaubat, ketahuilah bahwa nikmat ini hanyalah dari Allah saja, tidak ada kekuatan dan daya upaya melainkan dengan (pertolongan) dari Allah yang Maha lembut lagi Maha mengetahui, Dialah yang mengasihi dan memberimu petunjuk dan tidak mewafatkan kamu dalam keadaan tenggelam dalam syubhat dan syahwat, bagi-Nyalah segala pujian didunia dan diakhirat.
Dialah yang memberimu petunjuk dan memudahkanmu dalam menemui orang yang bisa menunjukkanmu kejalan/manhaj salafush sholeh, Alangkah banyak nikmat-Nya kepadaku dan kepadamu, Allah berfirman : Dan jika kalian menghitung nikmat Allah maka kamu tidak akan dapat menghitungnya (Surat Ibrahim : 34)
Janganlah kamu -wahai saudaraku yang telah bertaubat- berrsikap ujub dan terpedaya atau merasa memberi nikmat kepada Allah dengan (taubatmu itu) Allah ta’ala berfirman : Begitu jugalah keadaanmu dahulu, lalu Allah memberimu nikmat maka telitilah (Surat An-Nisa’ : 94)
Janganlah kamu mencela atau merendahkan orang lain serta yang lagi diuji dengan apa-apa yang Allah selamatkan dirimu darinya, akan tetapi pujilah Allah yang telah menyelamatkanmu dan Dia tidak menimpakan kepadamu apa yang telah menimpa mereka, dan katakanlah –jika kamu melihat orang yang lagi ditimpa musibah-:
( الحمد لله الذي عافا ني مما ابتلاك به وفضلني على كثير ممن خلق تفضيلا ))
Artinya : Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari apa-apa yang menimpamu dan telah mengutamakanku dari kebanyakan manusia. [4][4].
Berlemah lembut dan sayangilah mereka serta berharaplah agar mereka mendapat apa yang telah Allah berikan kepadamu dari kebaikan dan petunjuk.
Ketahuilah –semoga Allah memberimu taufik- bahwa harus bagimu untuk menelusuri sebab-sebab yang bisa membantu dalam memperbaiki taubatmu dengan giat serta bersungguh-sungguh, ikhlas dan jujur, pertama kali yang harus kamu mulai adalah :
Wasiat kedua
Menuntut ilmu adalah pondasi dalam memperbaiki taubatmu
Ilmu adalah pondasi/asas dalam memrperbaiki taubatmu, yang demikian itu karena dua perkara :
Pertama : Syubhat itu kebanyakan menempel di relung hati dan akalmu, jika kamu tidak menghilangkannya dengan ilmu yang bermanfaat maka kamu akan senantiasa dibayangi oleh syubhat tersebut dalam setiap perkataan, perbuatan dan keadaaanmu, bahkan dalam dakwahmu sebagaimana ini adalah fakta kebanyakan dari manusia yang meloncat dari taubat langsung berdakwah, mereka menyeru kepada dakwah salafiyah tapi dicampuri dengan syubhatnya Ikhwanul Muslimin yang menyeru kepada persatuan (seluruh kelompok sesat-pent), atau kepada quthbiyah yang menyeru kepada pengkafiran (kaum muslimin-pent), atau kepada sururiyah hizbiyah, bungkusnya salafiyah tapi bau dan rasanya tidak demikian, maka dakwah mereka kepada salafiyah tercampur dengan manhaj/metode tertentu dengan dasar syubhat yang senantiasa menemaninya sebelum bertaubat dan belum dimusnahkan :
Yang ini menyeru kepada kepemimpinan dalam berdakwah ….
Yang lain menghancur leburkan sebagian pokok manhaj salafi dengan alasan hal tersebut menyebabkan kerasnya hati, atau memutuskan hubungan persaudaraan …
Yang lain lagi mengikrarkan pemikiran-pemikiran quthbiyah …..
Yang lain lagi menyeru kepada hizbiyah …..
Yang lain lagi membawa pemikiran tahyijiyah (seperti khowarij yang menyeru untuk keluar dari daulah islam atau demontrasi -pent) ….
Dan yang lain menggembar-ngemborkan persatuan ….
Semua itu diatas namakan salafiyah, kepada Allahlah aku mengeluh, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kedua : Kadang-kadang syubhat itu mengombang ambingkanmu, lalu merubah arahmu dalam bertaubat/kembali ke salafiyah, sehingga kamu menjadi bingung atau kamu menyeru kepada syubhat itu sedang kamu merasa benar padahal itu adalah kebatilan yang jelas.
Berapa banyak orang yang mengaku-ngaku salafi dan berilmu yang mempermainkan/mengombang-ambingkan para pemuda yang baru bertaubat kepada Allah. Yang demikian itu karena mereka tidak menuntut ilmu yang bermanfaat, atau tidak bertanya kepada ahli ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Maka wajib bagimu wahai orang yang bertaubat –semoga Allah memberimu taufik- untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, karena hal itu dapat memperbaiki taubatmu, meluruskan jalanmu, denganyalah kamu akan selamat dari syubhat dan dari ketergelinciran, dan kamu akan terhindar dari jaring-jaring perangkap dengan seidzin Allah dan taufik-Nya.
Adapun dalil-dalil mengenai keutamaan ilmu dan ulama’ maka hal ini sangatlah dikenal, aku akan sebutkan sebagiannya yaitu :
Firman Allah ta’ala : Allah menyatakan bahwasannya tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan Dia, Yang Maha perkasa lagi Maha bijaksana (Surat Ali Imron : 18)
Dan firman Allah ta’ala : Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-Nya adalah para ulama’ (Surat Fathir : 28)
Dan firman-Nya : Allah mengangkat orang-orang beriman diantara kalian dan yang memiliki ilmu beberapa derajat (Surat Al-Mujadilah : 11)
Dan firman Allah ta’ala ketika Dia memberi nikmat kepada Nabi-Nya –shallallahu alaihi wa sallam- dengan diturunkan kepadanya al-Qur’an dan as-Sunnah, serta penjagaan Allah bagi beliau dari menyesatkan manusia : Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan juga karena Allah telah menurunkan kitab dan hikmah (sunnah) kepadamu, dan telah mengajarkanmu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu (Surat An-Nisa’ : 113)
Jika kamu –wahai oang yang bertaubat- telah mengetahui pentingnya ilmu dan keutamaannya, serta bahayanya melalaikan ilmu. Maka ketahuilah bahwa ilmu yang (harus) kamu pelajari pertama kali adalah :
Wasiat ketiga
Mulailah dengan mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Ketahuilah –semoga Allah memberimu taufik untuk menta’ati-Nya- bahwa aku tidak memaksudkan dengan pokok disini hanya macam-macam tauhid yang tiga saja, akan tetapi tauhid dan selainnya dari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang telah disepakati dan mereka menyelisihi ahli bid’ah dan firqoh dalam hal itu:
Seperti wala’ dan bara’ (mencintai dan membenci), amar ma’ruf dan nahi ‘anil munkar, bersikap terhadap shahabat, menghormati serta membela mereka, bersikap kepada pemimpin, kepada orang yang berbuat maksiat dan dosa besar, serta bersikap kepada Ahli bid’ah dan membicarakan serta bermuamalah dengan mereka dan lain sebagianya dari pokok-pokok ajaran yang telah disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka memasukkannya dalam kandungan kitab-kitab aqidah dalam rangka menampakkan kebenaran dan menyelisihi ahli ahwa’ dan firqoh walaupun semua itu secara asal adalah amal perbuatan bukan aqidah/keyakinan.
Bila kamu sudah menguasai masalah-masalah dan pokok-pokok ini maka –dengan seidzin Allah- kamu akan terjaga dari kebanyakan syubhat yang melanda negara-negara islam.
Ketika kebanyakan dari mereka yang bertaubat meremehkan hal ini, dan tidak memulai dalam taubatnya dengan mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta metode mereka, mereka menjadi bingung dan terombang-ambing hanya karena syubhat yang kecil, kita mohon kepada Allah keselamatan dan ‘afiyah.
Barangsiapa yang memperhatikan keadaan mereka maka dia akan mendapatkan gambaran dan contoh yang banyak sekali tentang terombang-ambingnya mereka, diantaranya :
1) 1) Kamu mendapatkan orang yang baru bertaubat itu pada awal mulanya sangat semangat sekali menjauhi ahli bid’ah dan firqoh beberapa saat lamanya, ketika dia mendengar syubhat dari orang yang mengaku salafi yang berkata : “Sesungguhnya menjauhi ahli bid’ah dan tidak bermu’amalah dengan mereka tidaklah benar, hal ini akan menyia-nyiakan kebaikan yang banyak sekali, tidak ada satu orangpun yang maksum setelah Rasul –shallallahu alaihi wa sallam-, mereka para sahabat –rodhiyallahu ‘anhu- juga pernah salah….”, kamu mendapatkannya (setelah dia mendengar syubhat itu-pent) telah sakit hatinya dan dia telah menenggak syubhat itu lebih cepat dari pada dia meminum air, pada waktu itu juga dia telah berkumpul dengan ahli bid’ah, tidak perduli lagi dengan pokok-pokok ajaran salafiyah tapi dia masih menamakan dirinya salafi.
Sesungguhnya kebimbangan ini terjadi karena tidak adanya keinginan mempelajari Al-qur’an dan sunnah sesuai dengan pemahaman para salaf, serta pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, seandainya dia mempelajarinya maka sungguh dia akan mengetahui bahwa syubhat ini batil menyelisihi sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap ahli bid’ah yang dahulu maupun sekarang, dan dia akan mengetahui bahwa perkataan orang yang mengaku salafi itu (tidak ada seorangpun yang maksum setelah Rasul –shallallahu alaihi wa sallam- dan bahwa semua orang itu pernah salah) adalah benar tapi maksudnya adalah batil, demikian itu karena Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari kalangan shahabat, tabi’in apabila salah seorang dari mereka salah tidaklah kesalahan itu bersumber dari hawa nafsu, atau dari ketidak adanya mengikuti atsar (hadits), dan tidak juga bersumber dari menyelewengkan nash-nash, serta mengikuti hal-hal yang mutasyabih/samar-samar, seperti yang dilakukan oleh ahli bid’ah, akan tetapi karena ketidak tahuannya terhadap dalil atau dia mengetahui tapi menurutnya dalil tersebut tidak shohih atau lain sebagainya, yang disitu terdapat udzur baginya.
Bagi mereka dan yang mengikuti mereka itulah turun sabda Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- : Apabila seorang hakim berhukum dan dia berijtihad lalu benar maka dia mendapat dua pahala dan apabila salah maka dia mendapat satu pahala [5][5].
Hal ini berlainan dengan ahli bid’ah dan firqoh yang tidak pernah memperhatikan atsar dan mereka lebih mendahulukan akal dari pada nash al-qur’an ataupun sunnah bahkan mereka membuat ajaran sendiri yang menyelisihi ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka ini tidak bisa diberi udzur seperti yang dikatakan oleh pengaku salafi itu, tidaklah yang menggolongkan mereka kedalam Ahlus Sunnah wal Jama’ah melainkan orang jahil atau ahli bid’ah yang angkuh.
2) Kamu mendapatkan orang yang baru bertaubat itu sangat bersemangat pada awalnya dalam membantah ahli bid’ah tapi tanpa ketentuan dan tanpa ilmu, hal ini berlangsung beberapa saat lamanya, ketika dia mendengar syubhat dari yang mengaku salafi : “Sesungguhnya membantah/mengkritik itu bukanlah dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah ! hal ini bisa membuat hati keras !![6][6] dahulu ada seorang yang suka mengkritik golongan-golongan yang ada lalu dia berbalik kebelakang dengan sebab itu !!!…”, dia mundur kebelakang, dan mengingkari pokok yang agung yang tegak dengannya agama ini (yaitu membantah ahli bid’ah –pent) bahkan kamu mendapatinya setelah itu berdakwah/menyeru manusia untuk meninggalkan pokok ini dengan alasan hal itu bisa mengeraskan hati.
Yang benar bahwa hal ini adalah pokok yang agung tegak dengannya agama yang lurus ini, dan merupakan pintu yang kokoh dalam menjaga manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dari penyelewengan, serta merupakan ibadah yang mulia yang mendekatkan kepada Allah sekaligus menambah iman seorang muslim tapi dengan dipenuhi syarat-syaratnya diantaranya adalah ikhlas dll, pokok yang satu ini sama dengan ibadah lainnya yang dapat menambah iman.
Penyimpangan ini bukan berasal dari pokok ajaran/manhaj tapi dari yang mempraktekkan pokok tersebut tanpa adanya kaidah/ketentuan, ketika syubhat itu mendapatkan tempat didalam hatinya dia lalu mengingkari pokok yang satu ini, padahal seharusnya dialah yang berhak untuk diiingkari karena tidak mempraktekkan pokok ajaran(Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Oleh karena itulah kita tidak mendapatkan para Imam petunjuk dari kalangan shahabat, tabi’in dan para pengiktut mereka dengan baik kecuali dalam keadaan bertakwa, zuhud, dan takut kepada Allah, hati mereka sangat lembut padahal mereka sangat sering membantah orang atau kelompok yang menyelisih (Al-qur’an dan sunnah-pent).
Lihatlah Abdullah bin Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, Yahya Bin Ma’in, Ali Bin Madini, Abu Hatim Ar-Rozi dan Bukhari…. Sejarah hidup mereka dipenuhi dengan zuhud, wara’, takut kepada Allah, dan takwa.
Pemutar balikan fakta dan pencampuradukan hal ini sebabnya adalah ketidak adanya keikhlasan dan kejujuran dalam bertaubat kepada Allah, dan ketidak adanya keinginan untuk mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada awal mulanya.
Dari sini –wahai orang yang bertaubat- harus bagimu untuk berhati-hati dari perangkap yang berbahaya ini, dan kamu harus mengetahui bahwa tidak ada keselamatan bagimu dari syubhat yang menjarar dan dari perangkap yang menjerumuskan ini kecuali apabila Allah memberimu taufik/petunjuk dan kamu mempelajari pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Maka telusurilah jalan ini dengan semangat membara dan kemauan keras, Peganglah kuat-kuat apa yang kami berikan padamu (Surat Al-Baqarah : 63), serta jujur dan ikhlas, Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (Surat Al-Ankabut : 69).
Yakinlah akan firman Allah ta’ala : Dan sesungguhnya jika mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi kami, dan pasti kami tunjuki kepada jalan yang lurus (Surat An-nisa’ : 66-68).
Berhati-hatilah dari rasa lemah, loyo dan putus asa terhadap apa yang menimpamu dijalan Allah, janganlah kamu lalai dari firman-Nya : (Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka dijalan Allah dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan) (Surat Ali-imron : 146).
Wasiat keempat
Janganlah mengambil ilmu kecuali dari Ahlus Sunnah
Imam Muhammad bin Sirin pernah berkata : Sesungguhnya ilmu itu adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu.
Beliau juga berkata : Mereka (salaf/sahabat) dahulu tidak pernah bertanya tentang isnad (silsilah periwayat hadits) tetapi ketika terjadi fitnah mereka berkata : sebutkan kepada kami guru-guru kalian. Lalu dilihat, bila dia Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya, tapi jika ahli bid’ah maka ditolak haditsnya.[7][7].
Pada saat sebagian mereka yang bertaubat tidak memperdulikan untuk mengenal pokok dan ketentuan ini, mereka menjadi santapan syubhat, dan sasaran permainan orang-orang yang mengaku-ngaku salafi dan punya ilmu, tidaklah seseorang yang mengaku dirinya memiliki ilmu dan (pura-pura) menampakkan hubungannya dengan kibarul ulama’ Ahlus Sunnah melainkan kamu mendapatkan para pemuda yang baru bertaubat telah duduk mengelilinginya tanpa diteliti hakikat, dan tanpa diperiksa sejarah hidupnya, ketika dia melihat pengikutnya sudah sangat banyak, dan para pendukungnya sudah sangat menyukainya mulailah dia menampakkan apa yang disembunyikannya dan yang diinginkannya, kamu melihatnya mulai menyeru kepada kepemimpinan dalam dakwah, atau kepada persatuan (antar semua golongan-pent), atau yang lainnya dari hal-hal yang menyelisihi pokok-pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pada waktu itulah mereka yang baru bertaubat mulai tampak goncang dan terpecah menjadi dua kelompok atau tiga : kelompok pendukung, kelompok oposisi, dan kelompok yang bingung, sesungguhnya hal ini terjadi karena dua hal :
Pertama : tidak adanya keinginan mereka (yang bertaubat) untuk menuntut ilmu yang bermanfaat terutama tentang pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena ilmu merupakan penjaga bagi pemiliknya dari ketergelinciran.
Tidakkah kamu melihat bagaimana ilmu itu bisa menjaga Abi Bakroh –rodhiyallahu anhu- pada waktu perang Jamal ketika mereka mengangkat ‘Aisyah Ummul mukminin –rodhiyallahu ‘anha- maka sebuah hadits yang beliau dengar dari Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- menjaganya, beliau bersabda –ketika mendengar kabar matinya Kisra/raja persi dan pengangkatan anak perempuannya (sebagai ratu-pent) - : Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita, ketika terjadi fitnah beliau ingat hadits ini maka beliau terjaga darinya, yang mana beliau berkata : Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- pada waktu matinya Kisra, beliau bertanya : siapa yang akan mengantinya : mereka menjawab : anak perempuannya.
Maka Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda : tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita, beliau (Abu Bakroh) berkata : ketika Aisyah datang ke Bashroh aku ingat sabda Rasulillah –shallallahu alaihi wa sallam- ini, maka Allah menjagaku dengannya)[8][8] .
Kedua : tidak adanya rujuk kepada ahli ilmi, karena seharusnyalah untuk bertanya kepada ahli ilmu atau kepada muridnya dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengenal orang yang ingin diambil darinya ilmu, dan ditanya : apakah dia itu dari tholibul ilmi as-salafi atau bukan ? apakah dia itu betul-betul belajar ilmu yang benar yang layak untuk diambil ilmunya atau tidak ?
Jika jawabannya tidak maka selesai perkara –alhamdulillah-, jika jawabannya positif maka ditimba darinya ilmu tanpa adanya fanatik tapi ditempatkan pada kedudukannya yang layak.
Ini adalah point yang sangat penting yaitu membedakan antara ahli ilmi ar-rabbani yang merupakan rujukan dalam masalah-masalah ilmiyah dan dalam masalah (nazilah) yang sedang terjadi seperti dua orang imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani [9][9]dan Abdul Aziz bin Abdillah Bin Baz [10][10]–rahimahumallah- dan yang masih hidup diantara mereka dari kalangan ulama’ rabbani seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin,[11][11] Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan Syaikh kami Muqbil Bin Hadi Al-Waadi’i[12][12] serta yang setingkat dengan mereka dari kalangan ahli ilmi dan fatwa dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka itu memiliki kedudukan masing-masing.
Dan antara tholibil ilmi yang dikenal ilmu dan berpegang teguhnya dengan sunnah lewat buku-buku mereka serta pujian ahli ilmi ar-rabbani bagi mereka, mereka itu memiliki kedudukan masing-masing.
Dan antara yang dibawah mereka dari tholibul ilmu yang dikenal kesalafiyaannya serta kemampuannya dalam mengajar.
Wasiat kelima
Pentinganya rujuk kepada ulama’ dalam masalah-masalah besar
Para ahli ilmi ar-rabbani merekalah yang (seharusnya) dijadikan rujukan dalam-masalah-masalah yang penting lebih-lebih yang berkaitan dengan kemashlahatan umat islam, jika kamu melihat keadaan orang-orang terdahulu dari kalangan salafush sholeh kamu akan mendapatkan mereka sangat bersemangat untuk rujuk kepada para pembesar ahli ilmi yang ada dizaman mereka terutama dalam hukum-hukum yang bersangkutan dengan tabdi’ (pembid’ahan) dan takfir (pengkafiran)[13][13].
Perhatikanlah Yahya bin Ya’mar Al-Bashri dan Humaid bin Abdirrahman Al-Himyari Al-Bashri ketika muncul qadariyah pada zaman mereka, mereka (qadariyah) memiliki penyimpangan-penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang mengharuskan pengkafiran atau pentabdi’an atau pengeluaran mereka dari lingkaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tapi kedua orang itu tidak tergesa-gesa menghukumi mereka bahkan keduanya pergi kepada ahli ilmi dan fatwa yang merupakan rujukan yaitu Abdullah bin Umar bin Khoththob –rodhiyallahu anhu- kemudian keduanya menceritakan kepada beliau tentang apa- yang terjadi lalu beliau berfatwa akan kesesatan qadariyah dan penyimpangan mereka. (Berkata Yahya bin Ya’mar : Orang pertama yang berbicara (menyimpang) tentang qadar di Bashroh adalah Ma’bad Al-Juhani, aku dan Humaid bin Abdirrahman Al-Himyari pergi haji atau Umroh dan kami berkata : Apabila kami bertemu dengan salah seorang dari shahabat Rasulillah –shallallahu alaihi wa sallam- kami akan bertanya tentang apa yang dikatakan oleh (qadariyah) tentang takdir, lalu kami bertemu dengan Abdullah bin Umar bin khoththob–rodhiyallahu anhu- saat beliau masuk masjid maka kami mengiringi beliau salah satu dari kami berjalan disamping kanan beliau dan yang lain disamping kiri, aku kira temanku akan menyerahkan perkara ini kepadaku maka akupun berkata : Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul ditempat kami orang-orang yang membaca Al-qur’an, mempelajari ilmu, mereka mengingkari takdir dan mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak ditakdirkan Allah dan tidak diketahui-Nya kecuali setelah terjadi.
Beliau berkata : jika kamu bertemu dengan mereka maka beritahu bahwa aku berlepas diri dari mereka dan merekapun berlepas diri dariku dan demi Allah, seandainya salah seorang dari mereka menginfakkan emas sebanyak gunung Uhud tidaklah Allah akan menerimanya sampai mereka beriman dengan takdir ….)[14][14].
Lihatlah Zubeid bin Harits Al-Yami pada saat muncul Murji’ah pada waktunya, dia melihat bahwa penyimpangan mereka terhadap pokok-pokok Ahlus Sunnah wal jam’ah mengharuskan mereka keluar dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tapi beliau tidak cepat-cepat menghukuminya tapi dia pergi kepada ahli ilmu dan fatwa yang merupakan tempat rujukan yang pernah menimba ilmu dari pembesar shahabat yaitu Abu Wail Syaqiq bin Salamah Al-Asadi Al-Kufi, maka beliaupun menceritakan apa yang terjadi lalu Abu Wail berfatwa dengan hadits Rasulillah –shallallahu alaihi wa sallam- tentang kebatilan syubhat murjiah, dan penyimpangan mereka dari jalan Ahlus Sunnah, Zubeid berkata : ketika muncul Murjiah aku mendatangi Aba Wail lalu aku ceritakan hal ini kepada beliau lalu beliau berkata : menceritakan kepadaku Abdullah bahwa Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda : (Mencela orang muslim adalah kefasikan dan memerangiya adalah kekufuran).[15][15]
Jika kamu membandingkan keadaan mereka bersama para ahli ilmi dan fatwa dizaman mereka dengan keadaan kebanyakan orang-orang yang lagi bingung dalam bertaubat pada zaman kita sekarang kamu akan mendapatkan perbedaaan yang sangat jauh sekali.
Mereka sangat bersemangat dalam menjalankan ketentuan ini, mereka tidak tergesa-gesa dalam menghukumi orang yang kelihatannya menyimpang pada zaman mereka sampai mereka memaparkannya kepada ahli ilmu dan fatwa dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ketika mereka mendengar fatwa merekapun memegangnya erat-erat dan menjauhi orang-orang yang menyimpang dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Adapun pada saat ini sedikit sekali kamu mendapatkan orang yang bersemangat (menjalankan) ketentuan ini, bahkan kamu mendapati sebagian mereka cuek terhadap perkataan ahli ilmi dan fatwa dalam mentahdzir (memperingatkan umat) dari ahli bid’ah dan ahwa’dan bahkan mereka memerangi fatwa ahli ilmi serta menyelewengkannya, kita memohon kepada Allah keselamatan dan ‘afiyah.
Penutup
Pada penutup ini, saya nasehatkan kepada yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan didunia dan diakhirat untuk berpegang teguh dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar dia terjaga dari syubhat yang menyesatkan, dan jujur dalam bertaubat serta benar-benar berusaha untuk menjalankan hal- hal yang bisa membantunya untuk istiqamah, bertawakkal kepada Allah yang Maha lembut dan Maha mengetahui, dan agar dia bermunajat serta merendahkan diri dihadapan-Nya sambil memohon pertolongan dan petunjuk.
Semoga Allah memberiku dan semua saudaraku petunjuk kepada apa-apa yang dicintai dan diridhoi-Nya, dan menjauhkan kita semua dari fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, serta menolong kita dalam memperjuangkan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan menetapkan kita diatasnya.
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala Alihi wa Shahbihi wa Sallim tasliiman katsiiran.
[1][1] Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Anas bin Malik –rodhiyallahu ‘anhu- (6309) dan ini adalah lafadz beliau, dan Muslim (6896).
[2][2] Diriwayatkan oleh Bukhari (13) dan Muslim (162).
[3][3] Dan aku masih memiliki beberapa wasiat lain yang hilang bersama dengan tulisanku mudah-mudahan aku bisa menambahkannya pada cetakan kedua –insya Allah-.
[4][4] Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Jami’nya dari hadits Abi Hurairah –rodhiyallahu anhu- dan dalam sanadnya ada Abdullah bin Umar Al-Umari dan dia itu dhoi’if, tapi hadits ini ada penguatnya sehingga naik menjadi hasan lighoirihi.
[5][5] Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
[6][6] Ini diantara keajaiban mereka ! kerasnya hati itu sesungguhnya disebabkan karena menyelisihi perintah Allah dan rasul-Nya –shallallahu alaihi wa sallam- bukan sebaliknya.
Bagaimana bisa hati orang yang mengingkari kemungkaran lebih-lebih bid’ah dan kesesatan itu (dikatakan) keras ? padahal Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam- bersabda : (Fitnah itu dipaparkan kepada hati seperti tikar sehelai demi sehelai, hati mana saja yang menyerapnya maka dtulis padanya titik-titik hitam, dan hati mana saja yang menolaknya maka akan ditulis titik-titik putih, sehingga terbagi menjadi dua : hati yang putih seperti batu putih yang mengkilap tidak membahayakannya fitnah selama ada langit dan bumi, kedua : hati yang hitam kelam seperti cangkir yang miring tidak mengenal yang baik dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang telah diserap oleh hawa nafsunya) (Diriwayatkan oleh Muslim 367)
[7][7] Diriwayatkan oleh Muslim dalam mukaddimah shohihnya.
[8][8] Diriwayatkan oleh Bukhari (7099), Nasai (5403) dan Tirmidzi (2365) dan ini adalah lafadz beliau.
[9][9] Al-Imam Al-‘Allamah Al-Mujaddid Al-Muhadits Al-Faqih As-Salafy penolong sunnah dan pembasmi bid’ah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh Al-Albani, beliau –rahimahullah- lahir pada tahun 1334 H dan wafat pada 22 jumadits tsani 1420 H –pent.
[10][10] Mujaddid millah Imam Ahlus Sunnah Samahatusy syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, beliau –rahimahullah- lahir pada bulan dzulhijjah 1330 H dan wafat pada 27 Muharram 1420 H –pent.
[11][11] Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah al-faqih al-fadhil az-zahid al-wari’ Al-‘Allamah fadhilatusy syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin At-tamimi, beliau lahir pada 27 ramadhan 1347 H dan wafat pada 15 syawwal 1421 H –pent.
[12][12] Beliau telah wafat, rahimahullahu
[13][13] Tapi ini bukan berarti bahwa tholibil ilmi tidak menghukumi dalam permasalahan-permasalahan yang ada secara mutlak, akan tetapi maksudnya adalah dia tidak menghukumi secara langsung dalam masalah-masalah yang sedang terjadi, terlebih lagi kalau masalah itu ada kesamar-samarannya, adapun dalam masalah yang sudah jelaa yang tidak tersamarkan maka tidak harus untuk rujuk kepada para ulama’.
[14][14] Diriwayatkan oleh Muslim 93.
[15][15] Diriwayatkan oleh Bukhari (48) dan Muslim (218).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar